Setelah seharian aku nulis sedikit materi, apresiasi, dan pertanyaan seputar
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka sekarang
waktunya ngomong soal terakhir, ancaman UU ITE pada blogger.
Tiga hal yang menjadi perhatianku adalah soal ancaman hukuman penjara
bagi blogger, ancaman terhadap kebebasan berpendapat, dan penyeragaman
informasi oleh negara. Bagi sebagian orang, ancaman ini mungkin dianggap
berlebihan. Tapi menurutku sah-sah saja. Kalau sudah ada aturan, negara
atau seseorang jadi punya alasan untuk membawa persoalan ini ke tingkat
hukum.
Selama kita hidup di sebuah sistem bernama
negara, selama itu pula kita tidak bisa lari dari sebuah keputusan
politik, termasuk di dalamnya UU ITE ini. Kita terikat olehnya. Maka
kita tidak bisa mengabaikannya saja. Sebab, kalau hanya diam. Kita baru
akan sadar ketika UU ini sudah jadi tali yang menjerat leher kita dengan
tubuh tergantung di bawahnya. Kalau ini terjadi, kita sudah tidak
sempat untuk mendiskusikannya pada saat itu. *Sereeeemm..*
Salah satu ancaman dalam UU ITE ini, sebagaimana ditulis di Pasal 45
ayat (1) adalah adanya ancaman penjara enam tahun dan/atau denda Rp 1
milyar untuk pengguna internet yang berisi materi melanggar kesusilaan,
pencemaran nama baik, penghinaan atau pencemaran nama baik, dan
pemerasan dan/atau pengancaman. Waduh, lagi-lagi muncul ancaman penjara
bagi pengguna informasi.
Membaca pasal ini, aku jadi ingat dengan perjuangan kawan-kawan
aktivis kebebasan informasi untuk menghapus pasal ancaman penjara bagi
pengguna informasi, biasanya sih wartawan. Dalam Rancangan UU Kebebasan
Informasi Publik (KIP) disebut juga bahwa penyalahguna informasi publik
bisa diancam penjara dua tahun dan denda Rp 5 juta. Kawan-kawan aktivis
kebebasan informasi minta agar ancaman itu dihapus saja.
Jauh sebelum itu, kawan-kawan di Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
pun sudah terus mengampanyekan agar ancaman penjara bagi penyalahguna
informasi, bukanlah dengan penjara. Cukup dengan denda.
Ini pula yang muncul di pikiranku setelah baca adanya ancaman penjara
bagi pengguna informasiyang bermaterikan melanggar kesusilaan dan
seterusnya itu. Blogger adalah salah satu pihak yang terancam.
Kenapa mau enaknya saja dengan tidak diancam hukuman penjara? Sebab
kebebasan atas informasi memang salah satu hak dasar bagi manusia.
Informasi harus dilawan dengan informasi, bukan dengan penjara. Shoot
the message, not messenger!
Kedua, UU ITE jadi ancaman terhadap kebebasan berpendapat. Bagaimana
bisa tenang berpendapat kalau kita terus dibayang-bayangi hukuman
penjara. Mau nulis soal pribadi si A, harus minta izin dari si A. Mau
nulis bahwa sekarang lagi rame foto bugil Sandra Dewi, kita harus minta
izin sama Sandra Dewi. Itu yang aku pahami dari Pasal 26 UU ITE ini.
Bawaannya juga jadi takut mengkritik. Kalau aku nulis bahwa Pastika
bukan calon gubernur yang asik, bisa-bisa nanti tim sukses Pastika akan
melaporkanku ke polisi dengan menggunakan UU ITE ini. Padahal, hal yang
paling menyenangkan di blog bagiku selama ini adalah kebebasannya.
UU ITE ibarat rantai yang mengikat semua kebebasan itu. Padahal
kebebasan untuk berpendapat adalah ukuran demokratis tidaknya sebuah
negara. Lihatlah negara-negara yang makin tertutup justru makin tidak
bagus.
Selain itu kebebasan berpendapat adalah hak asasi. Bahkan menurut
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat.
Bayangkan kalau kemudian tiap ada orang tidak nyaman dengan posting
di blog seseorang lalu dengan mudahnya akan lapor ke polisi. Waaah,
bisa-bisa posisi pengguna narkoba sebagai kelompok terbanyak di penjara
segera digantikan oleh blogger.
Ini tidak mustahil. Tunggu saja kalau nanti UU ini sudah dibuatkan
peraturan pemerintah (PP). Kalau PP ini sudah ada lalu penguasa tidak
suka dengan tulisan blogger, mereka akan sangat mudah menggunakan UU ini
sebagai dasar menangkap kita. Apalagi ada sang “pakar’ yang suka
melaporkan blogger ke polisi.
Terakhir adalah akan adanya penyeragaman bahasa. Sepertinya kita
harus bersiap-siap untuk menggunakan bahasa seragam yang mudah dipahami
banyak orang. Padahal tiap orang, termasuk blogger, kan punya cara
bertutur masing-masing. Aku sendiri misalnya santai saja pakai kata
“jancuk” untuk menyebut sesuatu yang enak. Sebab kata ini bagi orang
Jawa Timur bisa berarti keakraban. Tapi bagaimana kalau menurut UU ITE,
kata ini termasuk kata-kata yang melanggar kesusilaan? Maka, aku pun
terancam penjara.
Banyak lagi yang begitu. Tiap kode, tanda, dan seterusnya yang
berarti melanggar kesusilaan, mengancam orang lain, dan semacamnya akan
bisa dituduh melanggar UU ITE. Padahal, sekali lagi, cara berkomunikasi
tiap orang tidak seragam. Inilah repotnya kalau ada UU yang bahkan
sampai mengatur soal perasaan.
Memang blogger itu robot yang perasaannya bisa diatur sama semua? Huh!
*Udah capek nulis. tapi masih harus nulis artikel terakhir, Mata sudah ngantuk. Tinggal nanti diperbaiki
dengan bahasa yang santun lalu dikirim ke sang “pakar”. Hahaha..”
source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar